Menjadi seorang seller benar-benar akan membuatmu harus bekerja keras. Apalagi jika
kamu memiliki tanggungan setoran yang harus diberikan untuk atasanmu. Dan juga
tenggat yang diberikan untuk setiap produkmu.
Begitu pula yang dirasakan Ardilla
Maheswara kelas XI TITL 1. Dia menjadi seller
dari Bu Inah. Dia harus menjual sedikitnya 50 kue Putu setiap harinya. Ini
digunakan sebagai awal kemandiriannya.
Dilla, panggilannya, adalah seorang
anak cerdas yang bercita-cita menjadi seorang ahli politik sehingga dia selalu
membaca buku-buku politik yang ada di perpustakaannya. Hanya itu yang bisa dia
jangkau karena harga buku dengan ketebalan 100 saja sudah mahal sekali. Hampir
setiap hari dia berkunjung ke Perpustakaan SMKN 2 Sragen untuk membaca
buku-buku tersebut meski dia sedang dalam meminjam.
Hari ini tepat dia sebulan
berjualan. Biasanya, kue-kue itu akan laris terjual pada istirahat pertama.
Tidak untuk hari ini. Dia baru menjual 10 kue putu. Artinya masih ada 40 putu
lagi yang harus dijual. Dan itu harus habis karena kue putu bu Ina akan membasi
esok hari. Tentu saja hal itu membuat Dilla kalang kabut.
Dia langsung keluar begitu bel
istirahat kedua berbunyi. Dia membawa keranjang berisi kue putu tersebut dan pergi
menuju mushola putri. Sebelum berjualan, lebih baik dia beribadah dulu bukan?
Meminta pada yang Maha Kuasa semoga kuenya laris hari ini.
Selepas sholat, dia kembali
berkeliling sekolah. Di setiap kelas dia mencoba menawarkan. Tidak banyak
memang, baru 5 orang yang membeli. Matanya melihat kue putu tersebut. Masih
sisa 35. Dia mengingat peraturan dari Bu Ina ke setiap penjual kuenya.
“Kue ini cuma tahan sehari. Jadi sampai sore. Kalau tidak
habis maka penjual yang harus membelinya sendiri.”
Dia ingat jelas bagian itu. Setiap
produsen tidak mau rugi termasuk dirinya. Meskipun peraturan itu merugikan
penjual layaknya dia, tetap saja, ini agar penjual berusaha menjual habis
setiap target.
Saat dia sedang melintas di ruang
24. Dia menatap para siswa-siswi yang juga seangkatan dengannya sedang
berkumpul. Mereka seperti sedang membeli sesuatu. Karena penasaran, Dilla pun
masuk dan bertanya pada mereka.
“Kalian lagi beli apa?”
Salah seorang dari mereka menoleh ke
arahnya. “Oh, ini ada donat. Sela yang jual. Mau? Enak loh. Seribu juga.” Jelas
temannya itu dengan wajah riang.
“Eh, kue putu aku juga enak loh.
Enak banget malah. Asli Indonesia. Harganya juga seribu.” Dilla ikut promosi
agar menarik minat temannya.
Mereka yang disana menatap ke arah
Dilla.
“Maaf ya Dil, aku udah beli donat
milik Sela. 2 buah,” balas Weni.
“Iya. Maaf ya. Aku lagi seneng
donat. Kapan-kapan ya putunya,” tambah Gea. Dia berucap dengan nada candaan
namun tetap saja rasanya sakit.
“Iya. Coba ke kelas sebelah. Kelas
kami udah pada beli donat.” Itu Aldo yang berbicara. Seolah seperti usiran
halus. Dilla menarik napas dalam. Dia lalu berjalan keluar. Namun setelah dia
sampai pintu.
“Dilla!” Seseorang memanggilnya.
Dilla berbalik. Pepen memanggilnya dan berlari mendekat kearahnya. “Aku beli
putunya 2 ya.”
Pepen mengambil dua buah putu ayu
disana. Dia memberikan uang dua ribuan yang belum ditanggapi Dilla. “Kenapa gak
diambil?”
“Pen, maaf. Bukannya maksud mau
mikir negatif. Tapi kamu beli bukan karena kasihan sama aku kan Pen?” Dilla
ingin menangis sekarang. Dia tahu sekarang Indonesia bersaing dengan negara
luar. Banyak barang yang berasal dari sana dan rakyat Indonesia lebih
menyukainya dari produk sendiri. Tapi, kenapa harus putu ayunya juga kena?
Pepen tersenyum kecil. “Enggaklah
Dil. Aku emang suka putu ayu. Lagian, aku emang selalu beli kan.”
Dilla mengangguk. Memang benar Pepen
tak pernah absen membeli dagangannya. “Makasih Pen. Pamit dulu ya,” pamit Dilla
setelah dia mengambil uang dua ribuan yang disodorkan Pepen.
“Iya Dil.” Pepen lalu berjalan
kembali ke mejanya.
Dilla berjalan sampai ruang 26. Dan
dia mendapatkan 5 orang lagi. Kini dagangannya tinggal 28 buah lagi.
Semoga udah mau abis. Semangat Dil!
Dengan langkah riang dia berjalan
turun dari tangga dan menawarkan kembali di ruang bawah. Tidak banyak memang,
tetap saja dia senang. Karena bagaimanapun masih ada uang menyukai kue khas
Indonesia itu.
Dia melihat jam tangan di tangan
kirinya. 12:15 WIB. Artinya, tinggal 15 lagi dengan 28 kue lagi. Dan Dilla
harus bisa memutar otak secepat kilat.
Selintas, ada pikiran untuk
menawarkan ke kantin. Tapi, apakah pantas? Dikantin sudah menyediakan menu
kantin sendiri. Takutnya, dia malah seolah mengambil rezeki orang meski itu
hanya ada di pikirannya.
Dia kembali menelusuri jalanan
kelas. Dan dia berhenti di perpustakaan. Dilla memutuskan untuk masuk menawari
Bu Cakya dan lainnya yang sedang di perpustakaan.
“Assalamualaikum,” salamnya begitu
masuk kedalam. Dia mendekati meja yang menjadi pembatas antara ruang kerja staf
perpustakaan dan pengunjung.
“Bu, mau coba kue putu saya? Murah
loh Bu. Ini sehat, buatan rumah,” dengan nada persuasif dia menawari staf yang
ada disana termasuk Bu Cakya.
Bu Cakya memberinya sorot tertarik.
Guru tertua di Perpustakaan itu mendatangi dirinya. “Jadi kamu yang jualan kue
putu?”
“Iya Bu.”
“Kenapa milih jualan kue putu ayu?”
Tanya Bu Cakya lagi.
“Ini salah satu cara yang bisa saya
lakukan agar makanan tradisional Indonesia gak punah Bu. Secara kan sekarang
banyak orang suka produk luar daripada produk sendiri. Saya cinta Indonesia
Bu!” Semangatnya lalu terkekeh kecil.
Bu Cakya ikut tertawa. “Iya, Ibu
juga cinta Indonesia. Tetap jangan malu ya jualan kue putu meski mie
panjang-panjang sama burger-burger main kesekolahan.” Nasihat Bu Cakya.
“Iya Bu. Itu pasti!!!” Ujar Dilla
dengan mata berbinar-binar.
“Kue kamu berapa harganya?”
“Seribu Bu.”
“Masih sisa berapa?” Bu Cakya
melirik sisa kue di ranjang.
“Masih 28 Bu. Ibu mau beli? Atau mau
coba dulu?” Tawar Dilla lagi.
Bu Cakya mengambil uang 20 ribuan
dari saku baju batiknya. Dia memberikan pada Dilla. “5 aja ya Dil.”
Dilla dengan cekatan mengambil
plastik bening dan memasukkan 5 buah kue putu kedalam sana. Lalu memberikan
pada Bu Cakya sebelum dia mengembalikan sisa uang.
“Terimakasih Bu.” Dia tersenyum.
Dilla berjalan menuju pengunjung perpustakaan yang di dominasi kelas X. Dan
kembali, kuenya laku 13.
“Alhamdulillah
tinggal 10!” Gumamnya pada dirinya sendiri. Dia keluar dari sana dengan
berpikir lagi mengenai cata agar kuenya laku.
Dan bel masuk berbunyi. Dilla segera
menuju ruang 07 dimana kelasnya berada sekarang. Dia berniat menjualnya lagi
pada istirahat ketiga.
Sayangnya, itu hanya wacana karena
ternyata guru mapel Sejarah memberikan tugas yang harus selesai sebelum bel
pulang berbunyi. Jadi, setelah sholat dia kembali ke kelasnya. Melanjutkan
membuat tugas. Saking asyiknya, dia melupakan rencananya untuk mengambil kue
putu.
Setelah bel masuk berbunyi, dia
menepuk jidatnya. “Ya Tuhan. Beta lupa
menjual Putu ayu punya beta.” Ucapnya
seolah dia ini orang Indonesia Timur. Itu membuat teman sebelahnya tertawa.
“Apa lu?” Serunya galak. Temannya
makin tertawa. Dilla panik malah diketawain. Sungguh teman yang patut diajak
berkelahi.
“Bercanda-bercanda. Btw, kenapa sih?” Tanya temannya itu.
“Putunya masih sisa 10. Bantuin
jualin donk.” Dia menatap penuh pengharapan. Kembali membuat temannya tertawa.
“Ish! Mau nggak?” Tanyanya kesal.
“Iya-iya. Gue bantu--”
“Serius?!” Seru Dilla tak sabar. Dia
memotong ucapan temannya.
“Iya. Dengan doa.” Sambung temannya
lagi dan kembali tertawa. Dilla merengut kesal.
“Liat aja ya. Jangan minta e-book aku lagi!” Ancamnya kesal.
Temannya tentu saja menghentikan tawanya.
“Jangan donk. Kalau minta kamu kan
gratis. Dilla yang baik,” Rayu temannya.
Padahal mah, jika kamu tahu. Dilla tidak pernah membeli yang namanya e-book. Dia mendapatkan dari temannya,
Heba yang sering mengikuti cover contest.
“Mana aku peduli.” Dan mereka tidak
melanjutkan pembicaraan lagi karena sang guru sudah masuk kedalam kelas.
Akhirnya, bel pulang berbunyi.
Seluruh siswa mulai keluar dari kelasnya masing-masing. Melihat sisa kue putu
tinggal 10, dia memutuskan menjual di tempat parkir saja.
Dia menunggu orang-orang yang
berseragam sama dengannya berhenti untuk membeli kuenya. Sayangnya tidak ada.
Sampai parkiran yang penuh itu sepi.
Dia menarik napasnya. Lalu mulai
memakai helm biru miliknya. Saat dia menyalakan motor maticnya, seseorang memanggilnya.
“Eh Dek, kuenya masih?” Tanya
seseorang yang merupakan kakak kelas dengan nama Radio Sanjaya.
“Masih sepuluh Kak. Mau beli?” Dilla
mematikan sepeda motornya.
“Iya. Saya beli semuanya. Besok
masih jual?” Dilla menghentikan kegiatannya mengambil plastik.
“Iya, jualan setiap hari Kak,”
jawabnya sambil memasukkan kue putu itu.
“Oh. Soalnya kalau saya mau beli
selalu habis. Makasih ya.” Radio mengulurkan uang 10 ribuan yang diterima
langsung oleh Dilla.
“Dek, tetep jual kue putu ya. Buat
Indonesia selalu ingat kalau kita punya kue warna ijo.”
Sebelum pergi, Radio memberikan
senyum manisnya untuk Dilla. Dilla balas tersenyum. Dan setelah Radio berbelok
ke arah kiri, Dilla menyalakan kembali motornya dan pergi dari sana.
NAMA : HEBA CAROLINA M.D
KELAS : XII TKJ 1
NO.ABS :28