Pages

Sunday, January 5, 2020

Cerpen : PUTU AYU


Menjadi seorang seller benar-benar akan membuatmu harus bekerja keras. Apalagi jika kamu memiliki tanggungan setoran yang harus diberikan untuk atasanmu. Dan juga tenggat yang diberikan untuk setiap produkmu.

Begitu pula yang dirasakan Ardilla Maheswara kelas XI TITL 1. Dia menjadi seller dari Bu Inah. Dia harus menjual sedikitnya 50 kue Putu setiap harinya. Ini digunakan sebagai awal kemandiriannya.

Dilla, panggilannya, adalah seorang anak cerdas yang bercita-cita menjadi seorang ahli politik sehingga dia selalu membaca buku-buku politik yang ada di perpustakaannya. Hanya itu yang bisa dia jangkau karena harga buku dengan ketebalan 100 saja sudah mahal sekali. Hampir setiap hari dia berkunjung ke Perpustakaan SMKN 2 Sragen untuk membaca buku-buku tersebut meski dia sedang dalam meminjam.

Hari ini tepat dia sebulan berjualan. Biasanya, kue-kue itu akan laris terjual pada istirahat pertama. Tidak untuk hari ini. Dia baru menjual 10 kue putu. Artinya masih ada 40 putu lagi yang harus dijual. Dan itu harus habis karena kue putu bu Ina akan membasi esok hari. Tentu saja hal itu membuat Dilla kalang kabut.

Dia langsung keluar begitu bel istirahat kedua berbunyi. Dia membawa keranjang berisi kue putu tersebut dan pergi menuju mushola putri. Sebelum berjualan, lebih baik dia beribadah dulu bukan? Meminta pada yang Maha Kuasa semoga kuenya laris hari ini.

Selepas sholat, dia kembali berkeliling sekolah. Di setiap kelas dia mencoba menawarkan. Tidak banyak memang, baru 5 orang yang membeli. Matanya melihat kue putu tersebut. Masih sisa 35. Dia mengingat peraturan dari Bu Ina ke setiap penjual kuenya.

“Kue ini cuma tahan sehari. Jadi sampai sore. Kalau tidak habis maka penjual yang harus membelinya sendiri.”

Dia ingat jelas bagian itu. Setiap produsen tidak mau rugi termasuk dirinya. Meskipun peraturan itu merugikan penjual layaknya dia, tetap saja, ini agar penjual berusaha menjual habis setiap target.

Saat dia sedang melintas di ruang 24. Dia menatap para siswa-siswi yang juga seangkatan dengannya sedang berkumpul. Mereka seperti sedang membeli sesuatu. Karena penasaran, Dilla pun masuk dan bertanya pada mereka.

“Kalian lagi beli apa?”

Salah seorang dari mereka menoleh ke arahnya. “Oh, ini ada donat. Sela yang jual. Mau? Enak loh. Seribu juga.” Jelas temannya itu dengan wajah riang.

“Eh, kue putu aku juga enak loh. Enak banget malah. Asli Indonesia. Harganya juga seribu.” Dilla ikut promosi agar menarik minat temannya.

Mereka yang disana menatap ke arah Dilla.

“Maaf ya Dil, aku udah beli donat milik Sela. 2 buah,” balas Weni.

“Iya. Maaf ya. Aku lagi seneng donat. Kapan-kapan ya putunya,” tambah Gea. Dia berucap dengan nada candaan namun tetap saja rasanya sakit.

“Iya. Coba ke kelas sebelah. Kelas kami udah pada beli donat.” Itu Aldo yang berbicara. Seolah seperti usiran halus. Dilla menarik napas dalam. Dia lalu berjalan keluar. Namun setelah dia sampai pintu.

“Dilla!” Seseorang memanggilnya. Dilla berbalik. Pepen memanggilnya dan berlari mendekat kearahnya. “Aku beli putunya 2 ya.”

Pepen mengambil dua buah putu ayu disana. Dia memberikan uang dua ribuan yang belum ditanggapi Dilla. “Kenapa gak diambil?”

“Pen, maaf. Bukannya maksud mau mikir negatif. Tapi kamu beli bukan karena kasihan sama aku kan Pen?” Dilla ingin menangis sekarang. Dia tahu sekarang Indonesia bersaing dengan negara luar. Banyak barang yang berasal dari sana dan rakyat Indonesia lebih menyukainya dari produk sendiri. Tapi, kenapa harus putu ayunya juga kena?

Pepen tersenyum kecil. “Enggaklah Dil. Aku emang suka putu ayu. Lagian, aku emang selalu beli kan.”

Dilla mengangguk. Memang benar Pepen tak pernah absen membeli dagangannya. “Makasih Pen. Pamit dulu ya,” pamit Dilla setelah dia mengambil uang dua ribuan yang disodorkan Pepen.

“Iya Dil.” Pepen lalu berjalan kembali ke mejanya.

Dilla berjalan sampai ruang 26. Dan dia mendapatkan 5 orang lagi. Kini dagangannya tinggal 28 buah lagi.

Semoga udah mau abis. Semangat Dil!

Dengan langkah riang dia berjalan turun dari tangga dan menawarkan kembali di ruang bawah. Tidak banyak memang, tetap saja dia senang. Karena bagaimanapun masih ada uang menyukai kue khas Indonesia itu.

Dia melihat jam tangan di tangan kirinya. 12:15 WIB. Artinya, tinggal 15 lagi dengan 28 kue lagi. Dan Dilla harus bisa memutar otak secepat kilat.

Selintas, ada pikiran untuk menawarkan ke kantin. Tapi, apakah pantas? Dikantin sudah menyediakan menu kantin sendiri. Takutnya, dia malah seolah mengambil rezeki orang meski itu hanya ada di pikirannya.

Dia kembali menelusuri jalanan kelas. Dan dia berhenti di perpustakaan. Dilla memutuskan untuk masuk menawari Bu Cakya dan lainnya yang sedang di perpustakaan.

“Assalamualaikum,” salamnya begitu masuk kedalam. Dia mendekati meja yang menjadi pembatas antara ruang kerja staf perpustakaan dan pengunjung.

“Bu, mau coba kue putu saya? Murah loh Bu. Ini sehat, buatan rumah,” dengan nada persuasif dia menawari staf yang ada disana termasuk Bu Cakya.

Bu Cakya memberinya sorot tertarik. Guru tertua di Perpustakaan itu mendatangi dirinya. “Jadi kamu yang jualan kue putu?”

“Iya Bu.”

“Kenapa milih jualan kue putu ayu?” Tanya Bu Cakya lagi.

“Ini salah satu cara yang bisa saya lakukan agar makanan tradisional Indonesia gak punah Bu. Secara kan sekarang banyak orang suka produk luar daripada produk sendiri. Saya cinta Indonesia Bu!” Semangatnya lalu terkekeh kecil.

Bu Cakya ikut tertawa. “Iya, Ibu juga cinta Indonesia. Tetap jangan malu ya jualan kue putu meski mie panjang-panjang sama burger-burger main kesekolahan.” Nasihat Bu Cakya.

“Iya Bu. Itu pasti!!!” Ujar Dilla dengan mata berbinar-binar.

“Kue kamu berapa harganya?”

“Seribu Bu.”

“Masih sisa berapa?” Bu Cakya melirik sisa kue di ranjang.

“Masih 28 Bu. Ibu mau beli? Atau mau coba dulu?” Tawar Dilla lagi.

Bu Cakya mengambil uang 20 ribuan dari saku baju batiknya. Dia memberikan pada Dilla. “5 aja ya Dil.”

Dilla dengan cekatan mengambil plastik bening dan memasukkan 5 buah kue putu kedalam sana. Lalu memberikan pada Bu Cakya sebelum dia mengembalikan sisa uang.

“Terimakasih Bu.” Dia tersenyum. Dilla berjalan menuju pengunjung perpustakaan yang di dominasi kelas X. Dan kembali, kuenya laku 13.

Alhamdulillah tinggal 10!” Gumamnya pada dirinya sendiri. Dia keluar dari sana dengan berpikir lagi mengenai cata agar kuenya laku.

Dan bel masuk berbunyi. Dilla segera menuju ruang 07 dimana kelasnya berada sekarang. Dia berniat menjualnya lagi pada istirahat ketiga.

Sayangnya, itu hanya wacana karena ternyata guru mapel Sejarah memberikan tugas yang harus selesai sebelum bel pulang berbunyi. Jadi, setelah sholat dia kembali ke kelasnya. Melanjutkan membuat tugas. Saking asyiknya, dia melupakan rencananya untuk mengambil kue putu.

Setelah bel masuk berbunyi, dia menepuk jidatnya. “Ya Tuhan. Beta lupa menjual Putu ayu punya beta.” Ucapnya seolah dia ini orang Indonesia Timur. Itu membuat teman sebelahnya tertawa.

“Apa lu?” Serunya galak. Temannya makin tertawa. Dilla panik malah diketawain. Sungguh teman yang patut diajak berkelahi.

“Bercanda-bercanda. Btw, kenapa sih?” Tanya temannya itu.

“Putunya masih sisa 10. Bantuin jualin donk.” Dia menatap penuh pengharapan. Kembali membuat temannya tertawa. “Ish! Mau nggak?” Tanyanya kesal.

“Iya-iya. Gue bantu--”

“Serius?!” Seru Dilla tak sabar. Dia memotong ucapan temannya.

“Iya. Dengan doa.” Sambung temannya lagi dan kembali tertawa. Dilla merengut kesal.

“Liat aja ya. Jangan minta e-book aku lagi!” Ancamnya kesal. Temannya tentu saja menghentikan tawanya.

“Jangan donk. Kalau minta kamu kan gratis. Dilla yang baik,” Rayu temannya.

Padahal mah, jika kamu tahu. Dilla tidak pernah membeli yang namanya e-book. Dia mendapatkan dari temannya, Heba yang sering mengikuti cover contest.

“Mana aku peduli.” Dan mereka tidak melanjutkan pembicaraan lagi karena sang guru sudah masuk kedalam kelas.

Akhirnya, bel pulang berbunyi. Seluruh siswa mulai keluar dari kelasnya masing-masing. Melihat sisa kue putu tinggal 10, dia memutuskan menjual di tempat parkir saja.

Dia menunggu orang-orang yang berseragam sama dengannya berhenti untuk membeli kuenya. Sayangnya tidak ada. Sampai parkiran yang penuh itu sepi.

Dia menarik napasnya. Lalu mulai memakai helm biru miliknya. Saat dia menyalakan motor maticnya, seseorang memanggilnya.

“Eh Dek, kuenya masih?” Tanya seseorang yang merupakan kakak kelas dengan nama Radio Sanjaya.

“Masih sepuluh Kak. Mau beli?” Dilla mematikan sepeda motornya.

“Iya. Saya beli semuanya. Besok masih jual?” Dilla menghentikan kegiatannya mengambil plastik.

“Iya, jualan setiap hari Kak,” jawabnya sambil memasukkan kue putu itu.

“Oh. Soalnya kalau saya mau beli selalu habis. Makasih ya.” Radio mengulurkan uang 10 ribuan yang diterima langsung oleh Dilla.

“Dek, tetep jual kue putu ya. Buat Indonesia selalu ingat kalau kita punya kue warna ijo.”

Sebelum pergi, Radio memberikan senyum manisnya untuk Dilla. Dilla balas tersenyum. Dan setelah Radio berbelok ke arah kiri, Dilla menyalakan kembali motornya dan pergi dari sana.

NAMA            : HEBA CAROLINA M.D
KELAS           : XII TKJ 1
NO.ABS         :28

2 comments:

  1. Pincode - Titanium element - Titanium Art
    Pincode - Titanium element oakley titanium sunglasses - Titanium Art is a natural looking ceramic ceramic tool citizen eco drive titanium watch to create decorative objects. Use it 도레미시디 출장샵 to carve titanium 4000 walls, construct titanium ore ceilings,

    ReplyDelete